Sabtu, 01 Januari 2011

Berikan Mereka Kesempatan Bermain

KOMPAS.com - Bermain adalah hak anak. Hak ini kerap terlupakan karena dianggap  tidak penting. Padahal, dari bermain  orang tua akan melihat perkembangan anak.
Bermain merupakan suatu kegiatan yang bersifat intrinsik, kata Dra. Mayke S.Tedjasaputra, M.Psi. Artinya, sudah melekat pada anak dengan sendirinya. Sejak bayi, perilaku ini sudah muncul dalam bentuk memainkan tangan atau benda-benda di sekitarnya.
Sayangnya, menurut psikolog dan terapis bermain ini, bagi kebanyakan orang, kegiatan bermain sering dianggap tidak bermanfaat. Kadang, seperti ditulis dalam buku Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, naluri alamiah dan hak anak untuk bermain sering diabaikan.
Banyak orangtua melarang anak-anaknya bermain dengan alasan bermacam-macam. Takut bajunya kotor, takut terkena kuman, takut hitam, hingga takut anaknya tidak menjadi pintar karena kebanyakan bermain.
Anggapan keliru dan pengabaian semacam ini tentu berdampak negatif bagi anak. “Larangan bermain semacam ini bahkan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak anak karena bermain itu penting dan termasuk hak anak,” ujar DR. Seto Mulyadi dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, yang bisa dipanggil Kak Seto ini.
Paradigma bahwa bermain itu buruk harus diubah. Bermain menjadi modal tepat untuk kecerdasan intelektual maupun emosional. Mengutip Piaget dan Vygotsky, kegiatan bermain akan memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar dan mempraktikkan keterampilan hidup (life skill).
Bermain sebagai kegiatan yang menyenangkan menjadi cara paling utama bagi anak mempelajari berbagai hal. “Selain menyenangkan, bermain memiliki berbagai manfaat untuk perkembangan anak, baik dalam aspek fisik-motorik, kognitif, maupun sosial-emosional,” ujar Dra. Mayke, dosen psikologi di Universitas Indonesia.
Hal senada juga dikatakan oleh Kak Seto, bahwa bermain merupakan sarana yang baik untuk mengembangkan fungsi kognitif, afektif, serta psikomotorik anak. Karena itu, kata DR. Tjut Rifameutia, saat anak sedang mau bermain biarkan mereka bermain. “Beri kesempatan kepada anak untuk bermain, sehingga orangtua tahu perkembangan anak. Orangtua jangan cemas berlebihan,” katanya.
Tak melulu aktivitas fisik
Membuat pernak-pernik atau menjahit, menjadi cara untuk memperkuat motorik halus. Begitu pula dengan mewarnai dan pelajaran prakarya di sekolah. Menulis halus dengan huruf Latin bagi anak-anak Indonesia, atau menulis huruf kanji bagi anak-anak Jepang juga merupakan cara melatih motorik halus. Anak dengan motorik halus yang baik akan menulis dengan baik menggunakan tangannya.
Lain halnya jika anak bermain kejar-kejaran, ia sedang memperkuat motorik kasar. Kegiatan tersebut tak hanya jadi monopoli anak laki-laki. Anak perempuan juga perlu belajar berlari-lari agar motorik kasarnya terlatih.
Saat anak menjatuhkan bola dan telur misalnya, mereka akan menemukan hal-hal baru. Bola akan melenting saat dilemparkan ke lantai, sedangkan telur malah akan pecah. Dari hal ini, anak menjadi tahu sesuatu yang baru dengan mencoba.
Dengan bermain, anak juga belajar estimasi, mengembangkan pola kognitif, konsep dalam hal pola hidup, toleransi, mengenal aturan, serta bertenggang rasa. Bermain akan membuat nilai-nilai tersebut lebih masuk dan meresap dalam diri anak.
Kak Seto mengingatkan, bermain tak melulu dalam bentuk aktivitas fisik. Saat anak sakit misalnya, mereka tak bisa aktif secara fisik. Mendongeng bisa menjadi bahan permainan. Pun, kalau situasi tidak memungkinkan, bermain bisa dilakukan di dalam rumah. Setelah selesai bermain, orangtua bisa mengajak anak untuk membereskan dan membersihkan mainannya. 
“Prinsipnya, bermain itu harus spontan dan menyenangkan, tidak membuat anak jemu dan sebal dengan permainan yang dilakukan. Bila anak lebih senang mencari ikan kecil di sungai ketimbang di kolam, mereka tetap diperbolehkan bermain. Tentu dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kesehatan,” ujar Kak Seto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar